Thursday, August 12, 2010

dari kacamata yang berbeza

Balada Petani Tua

Barjo tubuh sederhana
mata bulat kepala berkulat
kulit kematu -
di bawah mentari bulan satu
suatu harapan bumi tiada retak

Markonah isteri setia
mata cangkung tiga belas anak mengepung
berlindung di bawah kepak petani
tanah sekepal rumah sebuah pusaka mati

Justeru Tumin putera tua
sisa pertarungan manusia
menegakkan pepanji bangsa
telah cedera kaki tiada ertinya

Sedang Tuban putera kedua
gonjol - gilakan janda kaya
sehari kerja sehari melawa
usia kian memanjat senja
dunia tanpa difikir diri berkecamuk jua

Dan Gareng anak ketiga
tiga kali kahwin bercerai jua
betapa harta tiada berbudi sementara
ditambah bini-bini yang culas,curang dan meradang
tidak mengenal batas bertandang dan kecundang

Si Gawok puteri keempat
kematian suami anak empat
tutup lubang gali lubang
penebus kehidupan segala termengkalan

Sentot belia nganggur
putera kelima tamat sekolah atap
sijil berlipat menyogok harap
tukang sapu tukang angkat

Saring ada SRP pangkat C
putera keenam paling tabah
tiada pernah meminta-minta
surau dan gubuk istana perlindungan
hasrat ingin merakam seluruh kehidupan:
( keluarga kami petani tradisi
mahu mendaki ingin menguji
bangsa manusia tiada serupa )

Jemblong putera ketujuh paling gelojoh
ringan tulang kenyang berdagang
pengasih dan penyanyang -
ya, kesayangan ayahda bonda sekeluarga
malang bersekolah tiada

Gambreng dan Mumberuh kembar kemerdekaan
sekolahnya sekerat jalan
dangkal dan tawakal
mewarisi dan kekal

Seriwut putera paling pintar
sabar dan berlapar
ayahbonda telah berkerat-kelar
cita-cita dan debar
anaku ; Pemimpin besar

Bolot putera bungkus
satu kepercayaan amat kudus
berani, kebal macam Mat Kilau
pada dengan kalimah lebai bagai rasul
jauh dari fatwa yang unggul
dan lari dari pedih perit
bulan dan mentari sakit
kesal dan menyesak menggigit

Tomblok puteri ayu
timangan ibu segera bermenantu
pemuda kaya paling tiada tukang kayu
sedang tubuh berkudis buta
sekolah darjah dua
betapa saudara kandung hidup derita

Dan Jombot puteri bungsu
- tiga belas hatinya kelabu
tanpa pesta dunia maju
segala layu dan kaku

Sepasang petani tua
- bumi dan manusia
bersyukur atas segala pemberian
bertawakal dalam perjuangan
rezeki secupak bukan segantang jadinya

Dan hiduplah petani perjuangan
tidak mengukur baju dibadan orang
tetapi memacu tega belas jiwa
bagai buldoza raksaksa
sekali-sekala lumpuh kemahuannya

( S. Panit : Berita Minggu )


Parti

Aku yang bukan aku lagi di majlis ini
yang menilai erti tamadun dengan sinis sekali
yang menyerikan malam dengan nion warna-warni
dengan ganja dan malboro serta gadis lincah
yang manis yang manja yang menggila
yang sweet seventeen yang bermini yang membayang
dengan fesyen yang paling latest dipamerkan
yang ketat yang padat yang harum bau topaz
yang melondeh yang terkeweh di tengah gelanggang

Aku bukan aku lagi di situasi yang gentleman ini
yang harus sporting yang harus kontemporary
yang harus melonggarkan sopan-santun dan berbudi-budi
jika para peria dan gadis manisku yang di sini
yang ada siangnya memakai uniform seragam putih dan hijau
yang pada siangnya membimbit buku dan jalan atas batu
di malam ini ia ketawa dan ia rela disentuh raba
di malam ini ia girang ia tidak keseorangan
di sudut-sudut kelam dalam rangkulan peria berambut panjang

Aku yang bukan akau lagi dalam keadaan yang normal ini
yang harus menyangkutkan tatamoralis di gelas anggur
yang harus bermuka-muka sekali pun dengan egoku
jika tamu dan jagonya dari elite yang ideal sekali
yang senyum lebar ala hippies di atas pentas
berbicara lagak Tom Jones garau suaranya
dengan gadis manis beralis lentik Max Factor
menari menyanyikan lagu Love is Blue
penuh emosional dan menggetar kalbu
malam yang ganas yang lunak yang menghairahkan
tika kugiran kian rancak dengan caca dan twist
kini tiada yang abnormal dan mengantuk layu
segalanya segar bugar segalanya meloncat bersama pasangan
yang minum yang menanti yang terus menari
yang mesra yang membisik-bisik ke telinga
bertukar gelas bertukar tangan bertukar rangkulan

Aku yang kembali normal di malam itu
terasa jauh datarnya nilai reality ini
sekeping hati telah cacat cedera
dalam kehangatan itu ku hirup sebuah keruntuhan
gadis periaku yang hanyut di tengah jalan.


( Ahmad Sarju :Mastika )



GUNTOR SADALI:


Speech by Berita Harian Singapore editor Guntor Sadali, at the Berita Harian Singapore Achiever of the Year Awards ceremony on July 28, 2010
: It is a fact known to all that Malays in Singapore are a minority. However this minority is quite different from other minorities in the world. Similarly, to some, Singapore is just a red dot in this vast Asian region. But it is no ordinary red dot. It is a grave mistake to equate size with ability, just as it is wrong to assume that being small and in the minority is to be weak and insignificant. The recent World Cup proved this. While Spain may be the world champion, it was minnow Switzerland that became the only country in the tournament that was able to defeat Spain. Forty-five years have passed since Singapore left Malaysia, yet every now and then we still hear non-complimentary comments from across the Causeway about the Malay community here. The latest came from former Malaysian Prime Minister Dr Mahathir Mohamad, who casually reminded Malaysian Malays not to become like Singaporean Malays. He did not make it clear what he actually meant, but the comment was made in the context of the possibility of Malaysian Malays losing their power in Malaysia. Again he did not specify what type of power, but it could safely be interpreted as political power. Now, what could have happened to the Malays here in the last four decades? What could have driven Dr Mahathir to voice his concern and to caution the Malaysian Malays? I wonder. The Malay community in Singapore, of course, know what has become of us here. First and foremost, we have become a completely different community from what we were 45 years ago. We have developed our own identity and philosophy of life that are distinct from our relatives across the Causeway. We may wear the same clothes, eat the same food, speak the same language and practise the same culture. However, the similarities end there. We are now a society that upholds the philosophy of wanting to stand on our own feet, or what is known in Malay as ‘berdikari’ or ‘berdiri atas kaki sendiri’. We do not believe in being spoon-fed or being too dependent on government help. In other words, we do not have a crutch mentality.We firmly believe that a community with such a crutch mentality will soon become a “two M” community – the first ‘M’ stands for ‘manja’ (spoilt), and the second for ‘malas’ (lazy). We definitely do not want to be labelled as a pampered and lazy community. That is why our Malay community here constantly work hard to raise funds to build our own mosques, madrasahs and other buildings in expensive and land-scarce Singapore. Over the years we have raised millions of dollars to become proud owners of these buildings. Through our own efforts and with the help of other organisations, we have also helped the needy not only financially, but also in equipping them with new skills so that they can earn their living. For Dr Mahathir, however, all that we have done and achieved so far are not good enough. He takes a negative view of our changed attitudes and different mindset, and has therefore cautioned Malaysian Malays not to be like us. What about power? For Malays in Singapore, power is not about wielding the keris. For us, knowledge is power. In fact we believe that knowledge is THE real power. The constant emphasis by the community on the importance of education and acquiring knowledge has led to the formation of institutions such as Mendaki, Association of Muslim Professionals (AMP), the Prophet Mohamad Birthday Memorial Scholarship Board (LBKM) and many others. These self-help organisations not only provide financial help to needy students, but also strive to nuture our students to their full potential. At the same time, these organisations help to tackle various social ills faced by the community. Again, we do these all on our own. Malay children here attend the same schools as other Singaporeans with a shared aim – to obtain a holistic education and, of course, achieve good examination results. Yes, it is tough. Like all other children, our Malay students have no choice but to work hard. It is a reality of life in Singapore that we have come to accept – that there is certainly no short cut to success. We do not believe in getting any special treatment, because it would only reduce the value of our achievements and lower our dignity. The meritocratic system that we practise here is, without doubt, a tough system but it helps us to push ourselves and prevent us from becoming ‘manja’ and ‘malas’. Still, Dr Mahathir and some Malay leaders across the Causeway do not like the way we do things here and have therefore warned Malaysian Malays not to be like us. On our part, there is certainly no turning back. Meritocracy has proven to be a good and fair system. It pushes us to work hard and makes us proud of our achievements. We can see how it has benefited us by looking at the growing number of doctors, lawyers, magistrates, engineers, corporate leaders and other professionals among us. It is the successes and achievements of some of these people that Berita Harian wants to highlight and celebrate when we launched this Achiever Award 12 years ago. Tonight, we have another role model to present to our community. So, the question is: Shouldn’t our friends and relatives across the Causeway be like us – Malays in Singapore? It is definitely not for us to suggest or decide. And we too have no intention of asking our own community if we would like to be like them either, because we have already chosen our very own path for the future. We, the Malays in Singapore, should be proud of our achievements, because we have attained them through hard work. It is true that what we have achieved so far may not be the best, and that we are still lagging behind the other races. There are large pockets in our community facing various social problems. We have achieved so much, and yet there is still a long way to go. But we should not despair. We can do a lot more on our own if the community stay united and cohesive. In critical issues, we should speak with one voice. We need to help and strengthen each other while at the same time reach out to the other communities in multi-racial, multi-religious Singapore. A successful and prosperous Singapore can only mean a successful and prosperous Malay community. Can we do it? Well, to borrow US President Barack Obama’s campaign slogan, “ Yes, we can”.





Hati Siapa Tak Terharu

Siapa yang merasakan miliknya tergugat
adalah rasa kesedaranmu penuh tanggungjawab
betapa terharu hatiku hatimu yang mencintai bumi ini
satu demi satu mereka lepaskan ke tangan orang lain
yang mereka kira itu suatu paksaan kerana
yang tak pernah mereka tangisi untuk hutang esok hari
bahawa haknya kini telah hilang kini
walaupun di tanahair sendiri.

Alangkah berhati mulia engkau para pembela
kerana engkau lebih dahulu melihat peristiwa itu
yang perlu diselamatkan dari kehancurannya
bilamana kita ditagih oleh anak-anak kita
- bumi inikah tanahair kita?
bilamana mereka akan terpesona dengan kegagahannya
dan betapa hancur kita tika mengakuinya
sedang model kebesaran ini milik siapa?

Hati siapa yang tak terharu mengenangkannya
patahnya percintaan tidak sederhana penanggungan ini
sekali pun segenggam pasir tiada harga
tetapi kerana ia pertaruhan maruah dan nyawa
maka perginya menjadi kehinaan seluruh bangsa
seperti kita tiada tenaga untuk melindunginya.

Aduh betapa berdarahnya hati yang sedia tersayat
menimbal-balik cerita lara para buruh, petani dan pelaut
kini ladang itu sawah itu telah lama hanyut
dibawa arus kepunyaan asing bumi kian surut
maka mereka pun melepaskan tak terdaya menebus kembali
kerana difikirkan hidup matinya untuk mereka sendiri
bahawa rumah yang didirikan dengan gagah tersergam
di atas tanah yang bukan miliknya lagi.

Betapa kudus hatimu
yang bisa melihat hari depan bangsamu
dan kini engkau menjadi penyelamat
kepada setiap inci tanah dan setiap bumimu
dan melindunginya dari sebarang kemungkaran
semoga bumi ini tidak pecah berserpihan

Aduh, pengertian ini melerai cerita semalam
melihat ladang melihat sawah hijau terbentang
berbelah bagi hati sendiri untuk menganalisakan
setelah seorang pengembara senyum-senyum menawarkan
suatu kebanggaan demi kegagahan bumi ini
sedang hati kita terus pedih dan terus kita lindungi
dengan suatu anggukan.

Kini ada suara dari hati yang tersembunyi
yang lebih lama menangisi cerita pedih ini
kemudian didirikan satu keyakinan
di seluruh hati bangsanya sambil bersuara lembut
selamatkanlah kerana perahu belum jauh hanyut.

( Dewan Masyarakat )









No comments: